Ditulis oleh:Nurfalakia
Pada akhir Desember 2019 lalu,dunia digegerkan dengan kemunculan virus baru bernama Novel Corona Virus atau SARS-Cov-2 atau Covid-19, bersama Sars dan Mers,virus ini masing masing disebabkan oleh virus corona.
Meskipun tidak semengerikan virus Mers dan Sars namun faktanya covid 19 sampai saat ini belum ada vaksinnya, dalam hitungan jam korban terus berjatuhan tanpa henti ,angkanya pun sudah mencapai jutaan kasus corona positif di seluruh dunia.
Lalu timbul pertanyaan kapan obat virus ini ditemukan? mengingat covid 19 merupakan virus corona baru,peneliti memperkirakan rata rata waktu yang dibutuhkan yaitu kurang lebih 12 tahun, masih terlalu dini untuk saat ini menjawab pertanyaan tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO telah merilis sebuah program bernama SOLIDARITY atau Solidarity Trial yaitu uji coba obat Covid-19 agar waktu yang semula 12 tahun dapat dipersingkat secepat mungkin.
Tugas program ini ialah menguji coba obat yang dinilai memiliki potensi yang paling memungkinkan dan dari 150 calon vaksin terdapat 4 obat yang diuji coba secara persisten,uji coba ini awalnya melibatkan 10 negara yaitu Prancis, Kanada,Bahrain, Argentina, Iran, Thailand, Norwegia, Spanyol, Swiss dan Afrika Selatan kemudian meluas hingga ratusan negara termasuk Indonesia.
Tugasnya adalah masing masing negara melakukan uji coba terhadap pasiennya dan melakukan berbagai eksperimen baik itu melalui metode intravena, plasebo, in-vitro maupun in-vivo.
ke empat obat tersebut antara lain:
1.Chloroquine Phosphate
Chloroquine phosphate atau klorokuin fosfat atau Resochin merupakan obat khusus yang digunakan oleh pasien yang menderita penyakit malaria,Choloroquine juga disebut pil Kina, khasiat ekstrak pohon kina sudah terbukti mencegah malaria.
Zat penting yang terkandung dalam ekstrak batang pohon kina yaitu antivirus dan anti inflamasi yang juga dapat melawan penyakit lain seperti arthritis (radang sendi), lupus erythematosus, amoebiasis, rheumatoid, sendi,tendon,ligamen,penyakit kram,kembung ,masalah perut dan kulit.
Karena sifatnya yang berfungsi melawan virus,di beberapa negara telah melakukan uji coba obat ini,Manli Wang seorang ahli virologi dari Chinese Academy of Siences mengatakan bahwa Chloroquine mampu menghentikan infeksi virus Sars-cov-2 didalam tubuh penderita,penelitian ini lalu dituangkan dalam sebuah jurnal bernama "Nature".
Sebuah lembaga bernama Badan pengawas obat dan makanan di Amerika serikat bernama FDA (Food and drug Administration) bersama EUA (Emergency User Authorization) menegaskan bahwa penggunaan Cloroquine pada pasien Covid-19 tidak efektif, ini disebabkan karena efek samping yang jauh lebih berbahaya khususnya pada penderita jantung.
Banyak peneliti in vitro mengatakan bahwa penggunaan obat ini tidak dapat menyembuhkan virus namun berguna untuk menghambat perkembangan virus.
2.Hydroxycholoroquine (HC)
Bersama Chloroquine, Hydrochloroquine dikenal sebagai obat anti malaria,alasan peneliti memilih hydrochloroquine karena memiliki toksisitas lebih rendah ketimbang klorokuin sehingga dinilai lebih aman.
Namun FDA mendapati laporan terbaru bahwa penggunaan hydrochloroquine membuat irama jantung serius pada pasien Covid-19.Lalu muncul pertanyaan apakah obat ini dapat menyembuhkan atau mematikan?
dikutip meneketehe dari laman m.bisnis.com ,survei yang diterbitkan the Lancet yang dilakukan terhadap kurang lebih 100.000 pasien di 671 rumah sakit,hasil yang dapat disimpulkan adalah penggunaan hydrochloroquine dapat meningkatkan angka kematian, selain itu penelitian MedRxiv juga menegaskan hydrochloroquine tidak efektif menyembuhkan virus corona.
Adapun efek yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain,efek samping ringan seperti,pusing, kram dibagian perut,tinja yang longgar dan efek samping berat seperti kebutaan,kerusakan pada hati dan ginjal, masalah irama jantung yang serius ( aritmia),gula darah rendah, rambut rontok dan depresi.
Meskipun belum terbukti secara uji klinis namun di beberapa negara telah mempraktekkan penggunaan hydrochloroquine pada pasien corona yaitu antara lain, Uni Emirat Arab, Prancis, Turki,Indonesia bahkan di negara India telah memproduksi hydrochloroquine sebanyak 70 %.
Namun kabar terbaru mengatakan bahwa Prancis bersama Belgia dan Italia telah membatalkan keputusannya untuk menggunakan hydrochloroquine karena terbukti membahayakan pasien.
3. Lopinavir dan Ritonavir
Lopinavor dan Ritonavur sudah lama dikenal sebagai obat yang berfungsi untuk melawan virus HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) , Lopinavur dan Ritonavir merupakan salah satu daftar Solidarity untuk menguji coba lebih lanjut secara klinis guna memerangi virus corona.
Meskipun Kombinasi Liponavur dan Ritonavur tidak dapat menyembuhkan virus Mers dan Sars namun karena sifatnya yang berfungsi melawan virus, kombinasi ini memiliki potensi yang memungkinkan dapat mengobati Covid-19.
Hasilnya kombinasi Lopinavir dan Ritonavir atau Kaletra / Aluvia / LPV dinilai tidak efektif dan dinyatakan gagal, hasil menunjukkan pengobatan tersebut justru mengalami efek samping seperti mual, hilangnya nafsu makan hingga diare.
4.Remdesivir
Remdesivir merupakan obat yang diproduksi di Amerika Serikat,sebuah raksasa farmasi bernama Gilead Sciences Inc, yang juga merupakan sebuah perusahaan bioteknologi di California,obat ini sebelumnya telah dipakai untuk menyembuhkan virus berbahaya seperti MERS, SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome ),Ebola ,infeksi Filovirus dan virus Marburg.
Kabar yang didapat bahwa Perusahaan Gilead akan menyumbangkan sebanyak 1.5 juta dosis remdesivir untuk mengubati 140.000 pasien corona.
Tidak seperti obat yang telah disebutkan sebelumnya ,remdesivir dinilai lebih cepat pulihkan pasien covid 19 setelah melalui uji coba laboratorium,obat ini memungkinkan digunakan untuk mencegah penyebaran virus corona.
Bahkan otoritas kesehatan Amerika serikat telah menyetujui penggunaan remdesivir sebagai obat darurat menangani pasien covid-19.
Ini disebabkan bahwa remdesivir merupakan obat yang berspektrum luas ,yang telah ampuh menyembuhkan virus mematikan seperti Sars Mers dan Ebola, selain itu remdesivir memiliki efek samping yang tidak terlalu berisiko sehingga aman bagi penderita.
Hasil uji remdesivir menunjukkan terdapat sekitar 65% pasien yang mengalami peningkatan setelah 11 hari dirawat, angka kematiannya pun rendah yaitu 8% dibanding 11.6 %, menurut Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) Amerika Serikat mengemukakan durasi setelah menggunakan obat ini dapat memangkas waktu selama 4 hari yaitu dari 15 hari menjadi 11 hari.
Adapun syarat yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan obat ini yaitu dengan anjuran dokter, mengklasifikasikan usia, dosis yang tepat bagi penderita penyakit bawaan,syarat lainnya adalah pasien harus diberikan secara intravena (melalui infus).
Namun faktanya tidak ada obat yang benar benar dapat menyembuhkan covid 19, ini akibat kurangnya data spesifik dan informasi yang akurat hingga hasilnya selalu tidak kondusif, di Amerika Serikat obat ini dinilai efektif,dibuktikan dengan laporan terdapat 50% pasien corona dapat sembuh dalam kurun 5 hari namun dipihak Cina menentang bahwa penggunaan remdesivir dinilai gagal menyembuhkan pasien corona.
Remdesivir telah tersedia di 127 negara di seluruh dunia, antara lain yaitu Inggris, Korea Selatan, Jepang,Taiwan, Pakistan, India, Singapura,Indonesia,namun sayangnya harga yang dibanderol per botol sebesar US$ 3.120 atau jika dirupiahkan senilai 43 juta perbotol (jika 1 US$ sama dengan 14.000 rupiah).
sumber
https://www.google.com/amp/s/www.sehatq.com/artikel/perkembangan-obat-corona-remdesivir-dapat-lampu-hijau-dari-bpom-amerika/amp
www.cnnnews.com
image:pixabay.com
Meskipun tidak semengerikan virus Mers dan Sars namun faktanya covid 19 sampai saat ini belum ada vaksinnya, dalam hitungan jam korban terus berjatuhan tanpa henti ,angkanya pun sudah mencapai jutaan kasus corona positif di seluruh dunia.
Lalu timbul pertanyaan kapan obat virus ini ditemukan? mengingat covid 19 merupakan virus corona baru,peneliti memperkirakan rata rata waktu yang dibutuhkan yaitu kurang lebih 12 tahun, masih terlalu dini untuk saat ini menjawab pertanyaan tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO telah merilis sebuah program bernama SOLIDARITY atau Solidarity Trial yaitu uji coba obat Covid-19 agar waktu yang semula 12 tahun dapat dipersingkat secepat mungkin.
Tugas program ini ialah menguji coba obat yang dinilai memiliki potensi yang paling memungkinkan dan dari 150 calon vaksin terdapat 4 obat yang diuji coba secara persisten,uji coba ini awalnya melibatkan 10 negara yaitu Prancis, Kanada,Bahrain, Argentina, Iran, Thailand, Norwegia, Spanyol, Swiss dan Afrika Selatan kemudian meluas hingga ratusan negara termasuk Indonesia.
Tugasnya adalah masing masing negara melakukan uji coba terhadap pasiennya dan melakukan berbagai eksperimen baik itu melalui metode intravena, plasebo, in-vitro maupun in-vivo.
ke empat obat tersebut antara lain:
1.Chloroquine Phosphate
image source : teknotempo.com
Zat penting yang terkandung dalam ekstrak batang pohon kina yaitu antivirus dan anti inflamasi yang juga dapat melawan penyakit lain seperti arthritis (radang sendi), lupus erythematosus, amoebiasis, rheumatoid, sendi,tendon,ligamen,penyakit kram,kembung ,masalah perut dan kulit.
Karena sifatnya yang berfungsi melawan virus,di beberapa negara telah melakukan uji coba obat ini,Manli Wang seorang ahli virologi dari Chinese Academy of Siences mengatakan bahwa Chloroquine mampu menghentikan infeksi virus Sars-cov-2 didalam tubuh penderita,penelitian ini lalu dituangkan dalam sebuah jurnal bernama "Nature".
Sebuah lembaga bernama Badan pengawas obat dan makanan di Amerika serikat bernama FDA (Food and drug Administration) bersama EUA (Emergency User Authorization) menegaskan bahwa penggunaan Cloroquine pada pasien Covid-19 tidak efektif, ini disebabkan karena efek samping yang jauh lebih berbahaya khususnya pada penderita jantung.
Banyak peneliti in vitro mengatakan bahwa penggunaan obat ini tidak dapat menyembuhkan virus namun berguna untuk menghambat perkembangan virus.
2.Hydroxycholoroquine (HC)
image source : theconversation.com
Bersama Chloroquine, Hydrochloroquine dikenal sebagai obat anti malaria,alasan peneliti memilih hydrochloroquine karena memiliki toksisitas lebih rendah ketimbang klorokuin sehingga dinilai lebih aman.
Namun FDA mendapati laporan terbaru bahwa penggunaan hydrochloroquine membuat irama jantung serius pada pasien Covid-19.Lalu muncul pertanyaan apakah obat ini dapat menyembuhkan atau mematikan?
dikutip meneketehe dari laman m.bisnis.com ,survei yang diterbitkan the Lancet yang dilakukan terhadap kurang lebih 100.000 pasien di 671 rumah sakit,hasil yang dapat disimpulkan adalah penggunaan hydrochloroquine dapat meningkatkan angka kematian, selain itu penelitian MedRxiv juga menegaskan hydrochloroquine tidak efektif menyembuhkan virus corona.
Adapun efek yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain,efek samping ringan seperti,pusing, kram dibagian perut,tinja yang longgar dan efek samping berat seperti kebutaan,kerusakan pada hati dan ginjal, masalah irama jantung yang serius ( aritmia),gula darah rendah, rambut rontok dan depresi.
Meskipun belum terbukti secara uji klinis namun di beberapa negara telah mempraktekkan penggunaan hydrochloroquine pada pasien corona yaitu antara lain, Uni Emirat Arab, Prancis, Turki,Indonesia bahkan di negara India telah memproduksi hydrochloroquine sebanyak 70 %.
Namun kabar terbaru mengatakan bahwa Prancis bersama Belgia dan Italia telah membatalkan keputusannya untuk menggunakan hydrochloroquine karena terbukti membahayakan pasien.
3. Lopinavir dan Ritonavir
image source:aslm.org
Lopinavor dan Ritonavur sudah lama dikenal sebagai obat yang berfungsi untuk melawan virus HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) , Lopinavur dan Ritonavir merupakan salah satu daftar Solidarity untuk menguji coba lebih lanjut secara klinis guna memerangi virus corona.
Meskipun Kombinasi Liponavur dan Ritonavur tidak dapat menyembuhkan virus Mers dan Sars namun karena sifatnya yang berfungsi melawan virus, kombinasi ini memiliki potensi yang memungkinkan dapat mengobati Covid-19.
Hasilnya kombinasi Lopinavir dan Ritonavir atau Kaletra / Aluvia / LPV dinilai tidak efektif dan dinyatakan gagal, hasil menunjukkan pengobatan tersebut justru mengalami efek samping seperti mual, hilangnya nafsu makan hingga diare.
4.Remdesivir
image source: time.com
Kabar yang didapat bahwa Perusahaan Gilead akan menyumbangkan sebanyak 1.5 juta dosis remdesivir untuk mengubati 140.000 pasien corona.
Tidak seperti obat yang telah disebutkan sebelumnya ,remdesivir dinilai lebih cepat pulihkan pasien covid 19 setelah melalui uji coba laboratorium,obat ini memungkinkan digunakan untuk mencegah penyebaran virus corona.
Bahkan otoritas kesehatan Amerika serikat telah menyetujui penggunaan remdesivir sebagai obat darurat menangani pasien covid-19.
Ini disebabkan bahwa remdesivir merupakan obat yang berspektrum luas ,yang telah ampuh menyembuhkan virus mematikan seperti Sars Mers dan Ebola, selain itu remdesivir memiliki efek samping yang tidak terlalu berisiko sehingga aman bagi penderita.
Hasil uji remdesivir menunjukkan terdapat sekitar 65% pasien yang mengalami peningkatan setelah 11 hari dirawat, angka kematiannya pun rendah yaitu 8% dibanding 11.6 %, menurut Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) Amerika Serikat mengemukakan durasi setelah menggunakan obat ini dapat memangkas waktu selama 4 hari yaitu dari 15 hari menjadi 11 hari.
Adapun syarat yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan obat ini yaitu dengan anjuran dokter, mengklasifikasikan usia, dosis yang tepat bagi penderita penyakit bawaan,syarat lainnya adalah pasien harus diberikan secara intravena (melalui infus).
Namun faktanya tidak ada obat yang benar benar dapat menyembuhkan covid 19, ini akibat kurangnya data spesifik dan informasi yang akurat hingga hasilnya selalu tidak kondusif, di Amerika Serikat obat ini dinilai efektif,dibuktikan dengan laporan terdapat 50% pasien corona dapat sembuh dalam kurun 5 hari namun dipihak Cina menentang bahwa penggunaan remdesivir dinilai gagal menyembuhkan pasien corona.
Remdesivir telah tersedia di 127 negara di seluruh dunia, antara lain yaitu Inggris, Korea Selatan, Jepang,Taiwan, Pakistan, India, Singapura,Indonesia,namun sayangnya harga yang dibanderol per botol sebesar US$ 3.120 atau jika dirupiahkan senilai 43 juta perbotol (jika 1 US$ sama dengan 14.000 rupiah).
sumber
https://www.google.com/amp/s/www.sehatq.com/artikel/perkembangan-obat-corona-remdesivir-dapat-lampu-hijau-dari-bpom-amerika/amp
www.cnnnews.com